Malam yang dingin
Tanpa
selimut hidup
Tanpa
selimut kehidupan, juga
Hampa...
Dimana
ada kekosongan hati,
Disitu
pula ada kehampaan
Hampa
yang aku rasakan
Khilaf
yang aku rasakan
Beribu
penyesalan atas perbuatan itu
Sekarang
harus ku pertanggungjawabkan
Di
ruang yang hampa ini
Di
ruang yang dingin ini
Di
ruang yang penuh sesal ini
Di
ruang yang penuh sesak kebatinan ini
Ingatanku
kembali pada putaran masa lalu
5
tahun lalu yang merenggut nyawa istriku
Nyawa
yang seharusnya akan terus menemaniku selamanya
Yang
seharusnya menemaniku dalam hampa ini pula
5
tahun lalu istriku terserang penyakit asma
Penyakit
yang sudah seharusnya aku tahu dari dulu
Aku
juga tidak tahu,
Jika
dia kumat, diawali dengan sesak napas
Disertai
dengan batuk
Yang
meninggalkan bercak darah di telapak tangannya
Hingga
suatu ketika, istriku kumat
Dadanya
sesak, mukanya pucat
Napasnya
tersengal sengal seperti habis lari marathon
Dan
berkata, sakit mas sakit!
Ya
Allah, apa yang harus aku lakukan?
Dari
raut mukanya,
Kulihat
pula betapa sakit yang harus ia rasakan
Bagi denganku, istriku, kataku dalam
hati
Dadaku
nyeri sangat hebat ketika kupeluk dia erat,
Seakan
merasakan apa yang ia rasakan
Segera
kuambil obat di laci ruang tamu
Sesegera
mungkin
Ketika
kubuka laci, obat itu tidak ada
Dengan
lemah, dan napas tersengal-sengal
Istriku
berkata,
Obatnya habis mas.
Dengan
secepat mungkin,
Kugendong
istriku ke luar rumah
Kugotong
menuju pinggir jalan besar
Menunggu
angkot yang berhenti
Ya
Allah, wajah istriku semakin pucat dan lemah
Kami
tidak punya kendaraan
Tidak
punya harta
Kami
lepas dari orang tua
Semenjak
2 tahun lalu kami putuskan untuk kawin lari
Karena
orang tua istriku tidak merestui hubungan kami
Kata
mereka, aku pemuda tidak berpendidikan
Hanya
buruh pabrik,
Tidak
akan bisa membuat anaknya hidup bahagia
Tapi,
atas dasar cinta
Istriku
sanggup kawin lari denganku
Apapun
resikonya
Waktu
itu kami yakin
Kami
akan berjalan tanpa orang tua
Mereka
yang melepaskan kami begitu saja
Karena
tak ada restu yang terlontar
Semua
atm istriku diblokir
Semua
uang darinya diambil
Kami
mulai hidup benar-benar dari nol
Hanya
modal hidup dari gaji buruhku yang pas-pasan
Itu
pun habis setelah 4 bulan kemudian aku di PHK
Cobaan macam apa ini, jeritku dalam
hati
Sesampainya
di rumah sakit, kami ditolak
Ditolak
karena aku tak punya sepeserpun uang
Karena
hanya mengulurkan askes
Hatiku
bergemuruh, kesal, sedih, marah
Haruskah
semua itu dibayar dengan uang?
Sampai
nyawa sekalipun?
Nyawa
istriku
Ku
berontak,
Menjerit
di bagian resepsionis rumah sakit
Sampai
semua orang melihatku dengan tatapan miris
Ya,
hanya melihatku
Istriku
menenangkanku dalam kelemahan
Sampai
pada akhirnya
Aku
diusir oleh satpam utusan mereka
Keluar
dengan mata sayu,
Dengan
tetap menggendong istriku
Sabar istriku,
Kataku
dalam hati sambil mencium keningnya
Kini,
kubertekad melakukan apa saja
Untuk
keselamatan istriku
Mataku
sudah gelap,
Dadaku
bergemuruh
Istriku
kuturunkan di depan rumah sakit
Aku
berjalan menuju halaman depan
Barangkali
ada yang bisa membantu
Sampai
mataku ertuju pada sebuah motor
Milik
pengantar susu
Motor
itu terparkir tepat di dekat parkiran mobil
Dengan
kunci masih tergantung
Segera
aku lari menjemput istriku di depan rumah sakit
Ku
gendong tubuh lemahnya
Aku
membawanya lari menuju motor
Motor
milik pengangkut susu tadi
Kuturunkan
keranjang yang ada di jok
Sambil
clingak clinguk,
Ku
tempatkan istriku di jok belakang
Dan
kupastikan dia aman
Semua
kulakukan secepat kilat,
Tak
peduli mereka
Aku
hanya peduli dengan keselamatan istriku
Istriku
yang telah kudapatkan
Dengan
perjuangan setengah mati
Tak
rela jika harus kehilangan dia begitu saja
Segala
keadaan kan ku buat
Untuk
terus bersamanya
Saat
aku dan istriku hendak melaju
Bersama
motor pengantar susu
Tukang
susu itu berteriak
Dari
kejauhan depan rumah sakit
Hei, kembalikan motor saya.
Tolong, ada maling!
Dengan
sesegera mungkin, aku gas sekuat tenaga
Malang
nian nasibku!
Satpam
sudah berdiri tegak menghadangku di pintu masuk keluar
Tanpa
dikomando,
Orang-orang
datang menuju ke arahku
Mereka
datang dengan muka beringas
Satpam
menurunkan istriku,
Dan
motor pun diserahkan kepada tukang pengantar susu
Sedangkan
aku?
Aku
telah berada di tengah-tengah kerumunan massa
Menerima
pukulan-demi pukulan,
Tendangan
demi tendangan
Cacian
demi cacian
Sempat
kulihat wajah istriku
Wajah
yang makin pucat dan lemah
Dia
berteriak sekuat tenaga
Sambil
memegang dadanya menahan sakit
Jangan, jangan pukul suamiku. Cukup!!
Tapi,
orang-orang tidak peduli
Mereka
melampiaskan amarah mereka
Dengan
begitu anarkis
Satpam
yang melerai pun sia-sia usahanya
Sampai
pada akhirnya tubuhku yang telah lemah
Wajahku
biru lebam
Keluar
darah dari mulutku, badan remuk
Semua
pihak keamanan rumah sakit melerai
Dan
akhirnya mereka pergi
Sudah
sangat tidak mungkin
Jika
aku membawa istriku ke rumah sakit lain
Dia
memelukku, kemudian pingsan
Aku
minta tolong kepada satpam
Untuk
mengusahan agar pihak rumah sakit menanganinya
Istriku
dibawa mereka ke dalam rumah sakit
5
menit kemudian polisi datang menjemputku
Tanganku
diborgol, masuk mobil polisi
Di
perjalanan, aku berdoa
Aku
menyebut nama-Nya
Berharap
nyawa istriku kan tertolong
Badanku
sudah remuk redam
Rasa
sakit yang menembus tulang
Inikah
hukum di Indonesia?
Main
hakim sendiri
Mereka
tak tahu aku
Mereka
tak tahu maksudku
Aku
hanya berniat meminjam motor itu
Untuk
membawa istriku ke rumah sakit lain
Tuhan,
selamatkan nyawa istriku
Dia
hartaku satu-satunya
Harta
yang akan ku pertahankan
Selamanya
Dadaku
sakit, sesak
Paru-paruku
nyeri
Sudah
sejak di bangku sekolah
Aku
dinyatakan lemah jantung
Tapi
kusimpan rapat
Dari
keluargaku
Dari
istriku
Sesampainya
di kantor polisi
Aku
dicerca berbagai pertanyaan
Dan
kemudian digiring
Menuju...jeruji
besi
Cipinang,
itu rumahku sekarang
Rumahku
yang berpintu besi,
terletak
di Ibukota
Ibukota
yang penuh
dengan
semboyan ‘ketika uang berkata’
Semua
bisa,
Jika
ada uang menghadang
Sengsara,
itu yang aku rasakan
Berjalan
melewati koridor tahanan
Mereka,
sesama tahanan menatapku,.
Entah
apa arti tatapan itu
Mereka
yang senasib denganku
Aku
melewati ruangan yang tak biasa
Ruangan
yang lebih besar
Dari
ruang yang aku tempati saat interogasi tadi
Begitu
bersih, begitu rapi
Tapi
tetap berjeruji besi
Ruangan
apa?
Beberapa
langkah kemudian
Sampai
pada hunianku
Bersama
5 orang lainnya
Menunggu
udara kebebasan
Tempat
dimana tidak seperti yang aku lihat tadi
Kumuh,
sempit, dan dingin
Ingatanku
melayang pada istriku
Sedang
apa di sana?
Bagaimana
keadaannya?
Siapa
yang merawatnya?
Maafkan
aku, istriku
Tepat
pukul 20.00 WIB
Aku
dikeluarkan dari jeruji besi itu
Dipertemukan
dengan satpam
Satpam
yang waktu itu mengusirku
Aku
yakin dia membawa kabar
Entah
kabar baik, atau...
Ahh,
segera ku menghampirinya
Tidak
sabar menunggu kabar dari istriku
Aku
menjerit sekeras-kerasnya
Aku
berontak membabi buta
Setelah
mendengar kabar itu
Tuhan,
kenapa secepat itu kau mengambil nyawanya
Nyawa
hartaku satu-satunya
Kenapa
Tuhan, kenapa?
Kenapa
harus aku yang kehilangan?
Polisi
menenangkanku
Kembali
menyeretku ke balik jeruji besi
Tak
berhenti aku menangis
Tak
berhenti aku menyesal
Tak
berhenti aku mengutuk diriku sendiri
Tak
berhenti aku memukuli kepalaku
Mereka
hanya melihatku iba
Salah
satu di antaranya menghampiriku
Dia
menepuk pundakku
Menyabarkanku
Menyadarkanku
Namanya
Yono
Sampai
tengah malam
Aku
belum bisa tidur
Aku
belum bisa ikhlas menerimanya
Aku
belum rela kehilangannya
Yono
menghampiriku kembali
Kami
bercerita tentang hidup kami
Semua
kucurahkan padanya
Dia
bisa hidup di sini
Karena
‘maling ayam’
Sampai
kesempatanku bertanya,
Tentang
ruangan itu
Ruangan
yang pernah kulewati
Yang
kuamati secara sekilas
Tapi
menimbulkan rasa penasaran yang luar biasa
Yono
bercerita panjang lebar
Ternyata
ruangan itu adalah istana
Istana
dalam penjara
Yang
hanya dihuni oleh orang berkocek tebal
Yang
mempunyai kuasa
Yang
mempunyai wewenang
Yang
bisa mendapat semuanya dengan uang
Fikar
Malik,
Salah
satu penghuni dari 2 orang lainnya
Dalam
ruangan itu[1]
Dia
terlibat kasus penganiayaan
Menyebabkan
adik kelasnya tewas
Sedangkan
yang lain,
Andhika
Gumilang, suami siri Malinda Dee
Terkena
kasus penyelewengan dana
Dan
yang terakhir, Gayus tambunan
Tidak
asing bukan?
Dia
terpidana suap dan pencucian uang
Uang
pajaklah yang dia makan
Uang
pajak, uang rakyat
Ketika
uang berkata,
Tidur
di kasur empuk
Jika
sumpek, nyalakan pendingin ruangan
Ketika
uang berkata,
Dilayani
dengan sangat memuaskan
Keluar
masuk seenaknya
Ketika
uang berkata,
Bebas
melakukan apa saja
Berkomunikasi
dengan siapa saja
Berbeda
dengan kami
Dengan
aku yang tak berniat mencuri
Dengan
Yono yang hanya maling ayam
Dengan
penjahat kelas teri lainnya
Ternyata
penjara itu tidak selalu sengsara
Hanya
jika,
Ketika
uang berkata
Itu
semua tidak adil, bukan?
Mereka
mendapat segalanya dengan uang
Padahal
kesalahan mereka lebih berat
Lebih
merugikan
Lebih
memalukan
Memakan
uang,
Yang
tak seharusnya mereka makan
Uang
rakyat!
Di
mana hukum?
Di
mana pemerintah?
Di
mana ketegasan?
Di
mana negara hukum?
Negara
yang berdiri tegak atas hukum?
Hatiku
semakin sakit
Ketika
ingat rumah sakit menolak istriku
Ketika
ingat diusir satpam itu
Ketika
ingat dihakimi massa
Ketika
ingat aku masuk jeruji besi ini
Ketika
ingat cerita dari Yono
Ketika
melihat ruangan itu
Dan,
ketika melihat
Semua
itu nyata
Ketika
uang berkata,
Aku
juga pernah mendengar berita
Tahun
2010 lalu
Arthalyta
Suryani alias Ayin
Terpidana
kasus suap Jaksa[2]
Mendapat
fasilitas mewah dalam penjara
Dia
mampu menyulap penjara menjadi istana
Menempati
ruangan 8x8 meter
Kasur empuk, pendingin ruangan
Lemari
es, televisi plasma
Meja
kerja, peralatan fitnes
Kloset
duduk, pancuran air hangat
Itu
semua bisa didapatkan
Sekali
lagi,
Ketika
uang berkata
Kini,
kulihat itu benar-benar nyata
Ketika
uang berkata,
Ada
Ayin, ada Aling
Aling
adalah terpidana kasus narkoba
Ruangan
yang rapi
Wallpaper
tertempel rapi di dindingnya
Dokter
kecantikan yang tidak pernah absen
Untuk
merawat kulit mereka
Mewah,
menyenangkan
Bahkan,
hal itu tidak bisa didapat oleh semua orang
Orang
yang bebas merdeka sekalipun
Ini
merupakan tamparan
Bagi
wajah hukum Indonesia
Hukum
pun bisa dibeli
Walau
di dalam penjara
Masuk
akal dan menyakitkan
Beberapa
meter dari ruangan itu
Ada
kami
Ada
kami yang berjubel
Ada
kami di ruangan sumpek
Ada
kami di ruangan sederhana
Adilkah?
Lusa
aku harus mengikuti persidangan
Aku
harus ikut walaupun kenyataan menghantuiku
Kenyataan
kehilangan
Kenyataan
menyakitkan
Pada
suatu malam,
Malam
yang dingin
Sedingin
hatiku
Tanpa
dia
Dia yang telah dulu meninggalkanku
Kurasakan
sakit
Dadaku
kembali sesak
Paru-paruku
kembali nyeri
Tidak
seperti biasanya
Sakit
yang luar biasa hebatnya
Kutahan
sekuat tenaga
Agar
tak mengganggu istirahat mereka
Sampai
pagi
Sakit
itu masih ada
Jam
04.00 tepat
Yono
bangun dan menghampiriku
Berusaha
simpati terhadapku
Dia
memang penghuni paling baik
Berteriak
memanggil penjaga
Mengadu
kondisiku
Dengan
susah payah
Membujuk,
agar aku diperbolehkan berobat
Tapi
usahanya sia-sia
Aku
makin lemah, makin tak berdaya
Kupegang
dadaku,
Kutahan
rasa sakit itu
Tetap
bertahan menahan rasa sakit
Di
balik jeruji besi
Dengan
Yono yang selalu menopangku
Selalu
Memberi
kekuatan padaku
Selalu
Memberi
keyakinan padaku
Selalu
Memberi
hangatnya persahabatan padaku
Selalu
Memberi
kebaikan padaku
Selalu..
Aku
sudah tak bisa menahan sakit ini
Tubuhku
gemetar
Yono
semakin bingung
Hanya
bisa menatapku
Miris,
iba
Sampai
aku berkata
Yono, terimakasih untuk semua ini
Selama ini
Engkau sahabatku yang paling baik
Aku akan bertemu dengan istriku
Di sana...
Rubahlah penjara ini
Menjadi istana..
Ku
lihat matanya memerah
Menahan
air mata
Yang
kemudian air mata itu tumpah
Ketika
aku menutup mata
Dan
tak mungkin bisa untuk terbuka lagi
Selamanya..[3]
Tuhan,
aku bersyukur
Engkau,
mengambil istriku
Tapi
kau ganti dengan sahabat
Yang
selalu ada untukku
Garis
hidupku memang sudah seperti ini
Untuk
apa menyesal?
Untuk
apa berkeluh kesah?
Jalani,
syukuri, nikmati
Aku
memang beda dengan mereka
Dengan
uang
Mereka
yang bisa mendapat semuanya
Dengan
uang
Mereka
yang bisa menikmati semuanya
Kan
kurubah ketika uang berkata
Menjadi
ketika kebaikan berkata
Ketika
hati berkata
Ketika
keyakinan berkata
Ketika
persahabatan berkata
Ketika
takdir berkata
Dan,
Ketika
yang lainnya berkata
Setelah aku tiada
Yono menuangkan semuanya
Dalam buku “Penjara The Untold
Stories”[4]
Di dalamnya menceritakan kasus suap
di LP
Tentang diskriminasi
Diskriminasi yang menyebabkan
kerusuhan
Tentang ketidakadilan
Di sana, tercantum namaku
Yang tak mendapat pelayanan medis,
Yang tak seperti mereka
Karena sesungguhnya,
Kita semua mempunyai penjara
Bukan penjara dalam bentuk fisik
Melainkan penjara hidup
Kadang Tuhan memisahkan kita
Dengan dunia dan bahagia
Maka dari itu
Bagaimana cara kita bersyukur,
Bagaimana cara kita bersukacita
Merubah penjara menjadi istana
Tidak dengan uang
Melainkan, dengan cara bersyukur
Dan selalu bersukacita
Selamat
tinggal sahabat
Rubahlah
penjara menjadi istana...
[1] http://news.liputan6.com/read/383861/diskriminasi-bisa-picu-kericuhan-di-penjara ; menceritakan
kehidupan penghuni Lapas Cipinang; Fikar Malik, Gayus Tambunan, dan Andhika
Gumilang
[2] http://www.tnol.co.id/komunitas-bicara/1406-penjara-kok-kayak-istana.html menceritakan fasilitas Tahanan Arthalyta Suryani dan
Aling di Rumah Tahanan Pondok Bambu.
[3] http://www.tempo.co/read/news/2013/10/01/064518037/Benget-Pembunuh-Sadis-Istrinya-Sendiri-Tewas menceritakan kasus Benget yang meninggal karena tidak
diijinkan berobat oleh hakim dan jaksa penuntut umum (ketidakadilan).
[4] http://news.liputan6.com/read/383861/diskriminasi-bisa-picu-kericuhan-di-penjara Praktik
suap di dalam LP rentan akan diskriminasi yang sangat berpotensi pada kerusuhan dalam buku “Penjara The Untold Stories” , dituang oleh mantan
narapidana.
0 komentar:
Posting Komentar